I.
Info
Dasar
Tradisi
: Petik Laut
Lokasi
: Pelabuhan Muncar - Banyuwangi
Pelaksanaan
: dilaksanakan pada bulan Muharam atau Syuro (tepat tanggal 15 di penanggalan
Jawa)
Acara
: Ritual memohon berkah rizki dan keselamatan sekaligus
ungkapan syukur kepada sang pencipta
Fakta tentang petik laut Muncar:
1. Pelaksanaan
petik laut selalu berubah, karena mengacu pada penanggalan bulan Qamariah dan
kesepakatan nelayan setempat.
2. Petik
laut Muncar di penuhi oleh ornament Madura.
3. Ritual
petik laut Muncar berkembang sejak kehadiran warga Madura yang terkenal sebagai
pelaut.
4. Selain
di Muncar, nelayan di pantai Grajagan, Pancer, dan Bulusan juga menggelar
ritual petik laut pada Muharam.
5. Ritual
petik laut wajib menghadirkan dua penari Gandrung yang masih perawan. Yang di
hadirkan satu kali seumur hidup.
II.
SEKILAS
TENTANG PETIK LAUT
Dalam
tiap bulan Muharam atau Syuro dalam penanggalan Jawa, bukan hanya petani,
nelayan pun menggelar ritual untuk memohon berkah rezeki dan keselamatan. Waktu
pelaksanaan petik laut tiap tahun berubah karena berdasarkan penanggalan
Qamariah dan kesepakatan pihak nelayan. Biasanya digelar saat bulan purnama,
karena nelayan tidak melaut, mengingat pada saat itu terjadi air laut pasang
Tujuan
utama diadakannya ritual petik laut adalah untuk memohon berkah rezeki dan
keselamatan sekaligus ungkapan terima kasih kepada Tuhan.
Di
Muncar (sekitar 35 kilometer dari kota Banyuwangi), ritual ini berkembang
setelah kehadiran warga Madura yang terkenal sebagai pelaut. Tak mengherankan,
jika petik laut selalu dipenuhi ornamen suku Madura. Salah satunya, seragam
pakaian Sakera, baju hitam dan membawa clurit, simbol kebesaran warga Madura
yang pemberani.
Seragam
Sakera tersebut disiapkan khusus untuk upacara dan hanya dipakai sekali, jika
ada upacara adat lain atau petik laut tahun depan, seragam harus dibuat lagi
,demi ke-sakralan upacara. Petugas Sakera dipilih yang berbadan besar. Biasanya
mereka berpenampilan sangar dan angker. Dengan kumis tebal dan gelang besar,
Sakera juga diharuskan berpenampilan lucu.
Sakera
juga menjadi pengaman jalanya ritual. Mereka selalu berjalan di depan mengawal
sesaji dari lokasi upacara ke tengah laut. Mereka mengatur warga yang ingin
berebut naik perahu. Sakera mirip Pecalang di Bali. Sesepuh adat juga
mengenakan baju Sakera, serba hitam. Bagian dalam kaus loreng merah putih.
Udengnya batik merah tua.
Bagi
nelayan Muncar, petik laut adalah gawe besar yang tidak boleh
ditinggalkan. Hari yang dipilih bulan purnama, tepat tanggal 15 di penanggalan
Jawa.
III.
PROSESI
RITUAL
Ritual
diawali pembuatan sesaji oleh sesepuh nelayan. Mereka adalah keturunan warga
Madura yang sudah ratusan tahun turun-temurun mendiami pelabuhan Muncar.
Disiapkan perahu kecil ( perahu sesaji ) dibuat seindah mungkin mirip kapal
nelayan yang biasa digunakan melaut. Pada malam harinya, di tempat perahu untuk
sesaji dipersiapkan dilakukan tirakatan. Di beberapa surau atau rumah diadakan
pengajian atau semaan sebelum perahu sesaji dilarung ke laut.
Perahu
diisi puluhan jenis hasil bumi dan makanan yang seluruhnya dimasak keluarga
sesepuh adat. Jenis makanan berbagai jajanan, nasi tumpeng dan buah-buahan,
ditata rapi di perahu kecil tadi. Sesaji yang sudah jadi disebut gitek.
Pada
hari yang ditentukan, ratusan nelayan berkumpul di rumah sesepuh adat sejak
pagi. Mereka menggunakan baju khas Madura sambil membawa senjata clurit.
Menjelang siang, sesaji diarak menggunakan dokar menuju pantai. Sepanjang
iring-iringan, dua penari Gandrung ikut mendampingi. Bunyi gamelan Gandrung
mengalun indah.
Nelayan
menari sambil mengacungkan senjata cluritnya. Di depannya, dukun membawa abu
kemenyan. Sambil melantunkan doa, dukun menyebarkan beras kuning simbol tolak
bala.
Ribuan
warga berdiri di sepanjang jalan mengamati perjalanan sesaji ( ider bumi ).
Begitu lewat, warga berhamburan mengikuti di belakang menuju pantai.
Arak-arakan berakhir di tempat pelelangan ikan ( TPI ), yang dihadiri jajaran
Muspida Banyuwangi dan pejabat setempat.
Sesaji
tiba disambut enam penari Gandrung. Setelah doa, sesaji diarak menuju perahu.
Warga berebut untuk bisa naik perahu pengangkut sesaji. Namun, petugas
membatasi penumpang yang ikut ke tengah.
Sebelum
diberangkatkan, kepala daerah diwajibkan memasang pancing emas di lidah kepala
kambing. Ini simbol permohonan nelayan agar diberi hasil ikan melimpah.
Menjelang
tengah hari, iring-iringan perahu bergerak ke laut. Bunyi mesin diesel menderu
membelah ombak. Suara gemuruh lewat sound-system menggema di tiap perahu.
Dari
kejauhan barisan perahu berukuran besar bergerak kencang. Hiasan umbul-umbul
berkibar menambah suasana makin sakral. Begitu padatnya perahu yang bergerak,
sempat terjadi beberapa kali tabrakan kecil.
Iring-iringan
berakhir di sebuah lokasi berair tenang, dekat semenanjung Sembulungan. Kawasan
ini sering disebut Plawangan. Seluruh perahu berhenti sejenak. Dipimpin sesepuh
nelayan, sesaji pelan-pelan diturunkan dari perahu. Teriakan syukur menggema
begitu sesaji jatuh dan tenggelam ditelan ombak.
Begitu
sesaji tenggelam, para nelayan berebut menceburkan diri ke laut. Mereka berebut
mendapatkan sesaji. Nelayan juga menyiramkan air yang dilewati sesaji ke
seluruh badan perahu. "Kami percaya air ini menjadi pembersih malapetaka
dan diberkati ketika melaut nanti," kata Mat Roji, sesepuh nelayan Muncar.
Dari
Plawangan, iring-iringan perahu bergerak menuju Sembulungan. Di tempat ini,
nelayan kembali melarung sesaji ke dua kalinya. Hanya, jumlahnya lebih sedikit.
Sebuah sasaji ditempatkan di nampan bambu dilarung pelan-pelan. Konon ini
memberikan persembahan bagi penunggu tanjung Sembulungan.
Selesai
larung sesaji, pesta nelayan dilanjutkan di pantai Sembulungan. Menuju Makam
Sayid Yusuf, beliau adalah orang pertama yang membuka daerah tersebut.
Disinilah biasanya tari Gandrung dan gending-gending klasik suku Using di
pentaskan, hingga sore hari. Di tempat ini para nelayan juga mempersembahkan
sesaji. Ritual diakhiri selamatan dan doa bersama.
Ritual
petik laut wajib menghadirkan dua penari Gandrung yang masih perawan. Konon, ini
berkaitan ritual petik laut pertama kali di Tanjung Sembulungan. Kala itu,
seorang penari Gandrung mendadak meninggal dan dimakamkan di pinggir pantai.
Sejak itu, petik laut wajib menghadirkan penari Gandrung. Memilih penari
Gandrung yang berani ikut ke tengah laut dan mendampingi sesaji tidak gampang
dan melalui seleksi khusus. Gandrung yang ikut mengarak sesaji hanya boleh
sekali diundang. Tahun berikutnya akan diganti Gandrung lain.
Di
sepanjang perjalanan, di atas perahu penari terus melenggang diiringi gamelan.
Mereka melantunkan gending-gending Using. Isinya ungkapan suka-cita perayaan
petik laut. Puluhan nelayan yang mengiringi gandrung ikut menari di atas
perahu.
Biasanya
sepulang pulang dari sembulungan perahu nelayan yang akan mendarat di guyur
dengan air laut yang di gambarkan sebagai guyuran Shang Hyang Iwak, sebagai
Dewi laut.
Selain
di Muncar, nelayan di pantai Grajagan, Pancer, dan Bulusan juga menggelar
ritual petik laut pada Muharam.
Sumber:
arixs_cyber tokoh / Irul
Hamdani - detik Surabaya / album.banyuwangikab.go.id / www.analisadaily.com / hatisamudera
0 Comments:
Posting Komentar