I.
Info Dasar
Tradisi
: Kebo-keboan
Lokasi
: Alasmalang – Singojuruh - Banyuwangi
Pelaksanaan
: dilaksanakan satu tahun sekali yang jatuh pada hari Minggu antara tanggal 1
sampai 10 Sura (tanpa melihat hari pasaran).
Acara
: Ritual tolak balak dan syukuran serta do'a kepada Tuhan agar para petani
diberi keselamatan dan kesejahteraan serta mendapat panen yang melimpah di masa
yang akan datang.
Fakta
tentang ritual kebo-keboan:
1. Pemain
kebo-keboan di lumuri warna hitam yang didandani mirip dengan kerbau
(bertanduk).
2. Belum
ada yang mengetahui kapan di mulainya ritual ini, namun menurut beberapa
masyarakat Krajan, ritual ini di mulai sejak terjadinya gagal panen yang
disebabkan oleh beberapa hama penyakit.
3. Ritual
ini memiliki makna tentang kebersamaan, ketelitian, gotong royong, dan
religius.
4. Memiliki
tiga tahapan dalam ritual.
5. Melibatkan
seluruh aspek masyarakat kelurahan Alasmalang.
II.
Sekilas tentang Kebo-keboan
Banyuwangi adalah salah satu kabupaten yang ada di
Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Di sana ada sebuah etnik yang bernama Using. Di
kalangan mereka, khususnya yang berdiam di Dusun Krajan, Desa Alasmalang,
Kecamatan Singojuruh, ada sebuah upacara tradisional yang sangat erat kaitannya
dengan bidang pertanian yang disebut sebagai “Kebo-keboan”. Maksud
diadakannya upacara itu adalah untuk meminta kesuburan tanah, panen melimpah, serta
terhindar dari malapetaka baik yang akan menimpa tanaman maupun manusia yang
mengerjakannya.
Mengenai
kapan di mulainya adat kebo-keboan, sampai kini belum ada yang mengetahuinya
secara pasti. Namun, menurut cerita yang berkembang secara turun-temurun di
kalangan masyarakat Krajan, kisah dibalik adanya upacara kebo-keboan
tersebut berawal ketika Dusun Krajan mengalami pagebluk, yaitu timbulnya
berbagai macam hama penyakit yang menyebabkan kematian tanaman pertanian. Untuk
mengatasi bencana tersebut, salah seorang tokoh masyarakat setempat yang
bernama Buyut Karti mengadakan ritual dengan cara menirukan perilaku seekor
kerbau yang sedang membajak sawah. Dan, ternyata ritual tersebut mampu menjadi
penghalau dari berbagai macam bencana yang menimpa Dusun Krajan. Akhirnya,
ritual yang kemudian dinamakan kebo-keboan itu dilakukan secara rutin
setiap tahun sekali.
III.
Komponen Ritual Kebo-keboan
Upacara
kebo-kebon di Dusun Krajan dilaksanakan satu kali dalam satu tahun yang
jatuh pada hari Minggu antara tanggal 1 sampai 10 Sura (tanpa melihat hari
pasaran). Dipilihnya hari minggu sebagai hari penyelenggaraan dengan
pertimbangan bahwa pada hari tersebut masyarakat sedang tidak bekerja (libur),
sehingga dapat mengikuti jalannya upacara. Sedangkan, dipilihnya bulan Sura
dengan pertimbangan bahwa Sura, menurut kepercayaan sebagian masyarakat Jawa,
adalah bulan yang keramat.
Sebagaimana
upacara pada umumnya, upacara kebo-keboan di Krajan juga dilakukan
secara bertahap. Tahap-tahap yang harus dilalui dalam upacara ini adalah
sebagai berikut:
(1)
Tahap selamatan di Petaunan;
(2)
Tahap ider bumi atau arak-arakan mengelilingi Dusun Krajan; dan
(3)
Tahap ritual kebo-keboan yang dilaksanakan di daerah persawahan Dusun
Krajan.
Pemimpin
dalam upacara kebo-keboan ini bergantung pada kegiatan atau tahap yang
dilakukan. Pada tahap selamatan di Petaunan, yang bertindak sebagai
pemimpin upacara adalah kepala Dusun Krajan. Sedangkan, yang bertindak sebagai
pemimpin upacara saat mengadakan ritual ider bumi dan kebo-keboan
adalah seorang pawang yang dianggap sebagai orang yang ahli dalam memanggil
roh-roh para leluhur.
Adapun
pihak-pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan upacara adalah:
1. Para
aparat Dusun Krajan;
2. Beberapa
kelompok kesenian yang ada di wilayah Alasmalang;
3. Empat
orang atau lebih yang nantinya akan menjadi kebo-keboan dan
4. Warga
masyarakat lainnya yang membantu menyiapkan perlengkapan upacara maupun
menyaksikan jalannya upacara.
IV.
Prosesi ritual
Satu
minggu menjelang waktu upacara kebo-keboan tiba, warga masyarakat yang
berada di Dusun Krajan mengadakan kegiatan gotong royong untuk membersihkan
lingkungan rumah dan dusunnya. Selanjutnya, satu hari menjelang pelaksanaan
upacara, para ibu bersama-sama mempersiapkan sesajen yang terdiri atas: tumpeng,
peras, air kendi, kinang ayu, aneka jenang, inkung
ayam dan lain sebagainya. Selain itu, dipersiapkan pula berbagai perlengkapan
upacara seperti para bungkil, singkal, pacul, pera,
pitung tawar, beras, pisang, kelapa dan bibit tanaman padi.
Seluruh sesajen tersebut selain untuk acara selamatan, nantinya juga
akan ditempatkan di setiap perempatan jalan yang ada di Dusun Krajan.
Pada
malam harinya para pemuda menyiapkan berbagai macam hasil tanaman palawija
seperti pisang, tebu, ketela pohon, jagung, pala gumantung, pala
kependhem, pala kesimpar. Tanaman tersebut kemudian
ditanam kembali di sepanjang jalan Dusun Krajan. Selain itu, mereka
mempersiapkan pula bendungan yang nantinya akan digunakan untuk mengairi
tanaman palawija yang ditanam.
Pagi
harinya, sekitar pukul 08.00, diadakan upacara di Petaunan yang dihadiri oleh
panitia upacara, sesepuh dusun, modin, dan beberapa warga masyarakat
Krajan. Pelaksanaan upacara di tempat ini berlangsung cukup sederhana, yaitu
hanya berupa kata sambutan dari pihak panitia upacara, kemudian dilanjutkan
dengan doa yang dipimpin oleh modin dan diakhiri dengan makan bersama.
Selanjutnya,
para peserta upacara yang terdiri dari para sesepuh dusun, seorang pawang,
perangkat dusun, dua pasang kebo-keboan (setiap kebo-keboan berjumlah
dua orang), para pembawa sesajen, pemain musik hadrah, pemain barongan
dan warga Dusun Krajan akan melakukan pawai ider bumi mengeliling
Dusun Krajan. Pawai ini dimulai di Petaunan kemudian menuju ke bendungan air
yang berada di ujung jalan Dusun Krajan. Sesampainya di bendungan, jagatirta
(petugas pengatur air) akan segera membuka bendungan sehingga air mengalir ke
sepanjang jalan dusun yang sebelumnya telah ditanami tanaman palawija oleh para
pemuda. Sementara, para peserta upacara segera menuju ke areal persawahan milik
warga Dusun Krajan. Di persawahan inilah kebo-keboan tersebut memulai
memperlihatkan perilakunya yang mirip seperti seekor kerbau yang sedang
membajak atau berkubang di sawah. Pada saat kebo-keboan sedang
berkubang, sebagian peserta upacara segera turun ke sawah untuk menanam benih
padi.
Setelah
benih tertanam, para peserta yang lain segera berebut untuk mengambil benih
padi yang baru ditanam tersebut. Benih-benih yang baru ditanam itu dipercaya
oleh warga masyarakat Dusun Krajan dapat dijadikan sebagai penolak bala,
mendatangkan keberuntungan serta membawa berkah. Pada saat para peserta
memperebutkan benih tersebut, para kebo-keboan yang sebelumnya telah
dimantrai oleh pawang sehingga menjadi trance, akan segera mengejar para
pengambil benih yang dianggap sebagai pengganggu. Namun, para kebo-keboan
itu tidak sampai mencelakai para pengambil benih karena sang pawang selalu
mengawasi setiap geraknya. Setelah dirasa cukup, maka sang pawang akan
menyadarkan kebo-keboan dengan cara mengusapkan pitung tawar pada
bagian kepalanya. Setelah itu, mereka kembali lagi ke Petaunan.
Sebagai
catatan, sebelum tahun 1965 pelaksanaan ider bumi tidak hanya
mengelilingi sepanjang jalan Dusun Krajan saja, melainkan juga ke arah batu
besar yang ada di empat penjuru angin yang diawali dengan berjalan ke arah
timur menuju Watu Lasa, kemudian ke barat menuju Watu Karang, lalu ke selatan
menuju Watu Gajah dan ke arah utara menuju Watu Naga.
Sesampainya
di Petaunan, peserta upacara kembali ke rumah masing-masing sambil membawa padi
yang tadi mereka ambil di sawah untuk dijadikan sebagai penolak bala dan juga
sekaligus pembawa berkah. Malam harinya, mereka kembali lagi ke Petaunan untuk
menyaksikan pagelaran wayang kulit dengan lakon Sri Mulih yang mengisahkan tentang
Dewi Sri. Lakon tersebut dipentaskan dengan harapan agar warga Dusun Krajan
mendapatkan hasil panen padi yang melimpah. Dan, dengan dipentaskannya kesenian
wayang kulit di Petaunan itu, maka berakhirlah seluruh rentetan dalam upacara kebo-keboan
di Dusun Krajan.
V.
Nilai Budaya yang terkandung dalam ritual Kebo-keboan
Upacara
kebo-keboan di Dusun Krajan, Desa Alasmalang, Kabupaten Banyuwangi, jika
dicermati secara mendalam, mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat
dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai itu antara
lain adalah: kebersamaan, ketelitian, gotong royong, dan religius. Nilai
kebersamaan tercermin dari berkumpulnya sebagian besar anggota masyarakat dalam
suatu tempat, makan bersama dan doa bersama demi keselamatan bersama pula. Ini
adalah wujud kebersamaan dalam hidup bersama di dalam lingkungannya (dalam arti
luas). Oleh karena itu, upacara ini mengandung pula nilai kebersamaan. Dalam
hal ini, kebersamaan sebagai komunitas yang mempunyai wilayah, adat-istiadat
dan budaya yang sama.
Nilai
ketelitian tercermin dari proses upacara itu sendiri. Sebagai suatu proses,
upacara memerlukan persiapan, baik sebelum upacara, pada saat prosesi, maupun
sesudahnya. Persiapan-persiapan itu, tidak hanya menyangkut peralatan upacara,
tetapi juga tempat, waktu, pemimpin, dan peserta. Semuanya itu harus
dipersiapkan dengan baik dan seksama, sehingga upacara dapat berjalan dengan
lancar. Untuk itu, dibutuhkan ketelitian.
Nilai
kegotong-royongan tercermin dari keterlibatan berbagai pihak dalam
penyelenggaraan upacara. Mereka saling bantu demi terlaksananya upacara. Dalam
hal ini ada yang membantu menyiapkan makanan dan minuman, menjadi pemimpin
upacara, dan lain sebagainya.
Nilai
religius tercermin dalam doa bersama yang ditujukan kepada Tuhan agar mendapat
perlindungan, keselataman dan kesejahteraan dalam menjalani kehidupan.
Sumber:
Purwaningsih, Ernawati. 2007. “Kebo-keboan, Aset Budaya
di Kabupaten Banyuwangi”, dalam Jantra Vol. 2 No. 4. Desember 2007.
Yogyakarta: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta.
Wahjudi Pantja Sunjata, 2007. Fungsi dan Makna Upacara
Tradisional Kebo-keboan. Yogyakarta: Eja Publisher.
0 Comments:
Posting Komentar