Tradisi
: Gelar Pitu
Lokasi
: Desa Glagah, Kabupaten
Banyuwangi
Pelaksanaan
: Hari Raya Ke 7 / 7 Syawal bulan Hijriah
Acara
: Ritual penyucian Barong dan
mahkota (omprok) Seblang serta gunungan ketupat yang diarak dan didoakan di
makam leluhur, Mbah Saridin – Arak-arakan Ketupat Gunggungan.
Banyuwangi
merupakan salah satu daerah di Jawa Timur yang kaya akan seni Budaya,
Masayarakat Banyuwangi sangat menjunjung tinggi tradisi yang telah ada dari
zaman nenek moyang beberapa tahun silam. Salah satu tradisi yang masih di jaga
oleh masyarakat Banyuwangi adalah Tradisi Gelar Pitu di Desa Glagah (30 Menit
Perjalanan dari Pusat Kota)
Setiap
Lebaran hari ketujuh atau 7 Syawal tahun Hijriyah, warga Dukuh Kopen Kidul,
Dusun Kampung Baru, Desa / Kecamatan Glagah, memperingati Lebaran Ketupat yang
disebut Gelar Pitu.
Istilah
gelar Pitu berasal dari kata Gelar yang artinya menggelar atau menata,
sedangkan pitu berarti pitutur atau ucapan. Jadi jika di artikan Gelar
Pitu mengandung makna menata ucapan dari buyut Saridin, yang telah memberikan
tujuh wejangan kepada keturunannya. Salah satu isi wejangannya adalah keturunan
Mbah Saridin diminta melaksanakan sedekah bumi yang dilaksanakan di halaman
atau di tengah jalan. Selamatan itu dilaksanakan dengan menggunakan
pelepah pisang atau biasa di sebut Ancak. Tradisi ini menurut tokoh yang
dituakan di desa tersebut telah di laksanakan sejak akhir abad ke-19 atau awal
abad ke-20.
Dalam
tradisi ini, masyarakat setempat menggelar ritual penyucian Barong dan mahkota
(omprok) Seblang serta gunungan ketupat yang diarak dan didoakan di makam
leluhur; Mbah Saridin; yang diyakini sebagai pelopor pembabat hutan
untuk di jadikan perkampungan.
Setiap
tahunnya tampak warga sesepuh adat mensucikan barong, mahkota Seblang, dan
gunungan ketupat di makam leluhur. Kegiatan ini bertujuan untuk menolak bala
dan wujud sukur atas keamanan dan rejeki.
Dalam
Tradisi ini terdapat pula alunan musik yang terdengar begitu unik dan menggema
dari pengeras suara yang terpasang, suara alunan musik yang rancak dalam
tradisi ini sangat berbeda dari suara alat music yang kita kenal.
Alunan
suara yang sangat rancak dan ceria tersebut di alunkan oleh beberapa buah lesung
(peralatan dapur Tradisonal) yang di tabuh oleh delapan perempuan, sang penabuh
selalu menunjukkan senyum kecil yang tak henti-hentinya merka suguhkan; hal ini
di lakukan untuk mennjukkan rasa bahagia, oleh warga sekitar kegiatan ini di
sebut Gedogan.
Kegiatan
tidak berhenti sampai disitu saja, ketika alunan music di suarakan, 6 orang
laki-laki yang berpakaian khas Banyuwangi (memakai pakaian serba hitam dan udeng
khas Banyuwangi) berjalan menuju areal persawahan. Mereka bermaksud
mengambil air suci dari sebuah mata air yang berlokasi di pinggir sungai (mata
air ini terletak sekitar 2 KM dari lokasi gelar pitu). Aroma kemenyan yang
merupakan sebuah syarat juga Nampak disepanjang jalan menuju air tersebut, yang
asapnya menunjukkan jalan menuju lokasi air suci yang akan di ambil oleh
seorang dalam dua wadah kendi yang nantinya akan di diamkan selama beberapa
jam. Selain aroma kemenyan, hal yang menarik dalam perjalanan tradisi ini
adalah si pembakar kemenyan yang tiba-tiba kesurupan ketika sampai di
gubuk tengah sawah (gubuk tersebut di yakini merupakan padepokan milik Mbah
Saridin). Pada sore hari, satu kendi air yang telah diisi penuh tersebut
digunakan untuk memandikan kepala Barong. Sedangkan satu kendi lainnya di
gunakan untuk nyekar di makam leluhur desa Glagah dan keluarganya.
Dalam tradisi ini, pengunjung juga akan disuguhi berbagai kesenian tradisional
Banyuwangi, seperti Kuntulan, tari Gandrung, Barong, dan juga terdapat
angklung paglak.
Setelah
semua pagelaran di laksankan dalam Tradisi Gelar Pitu, tradisi terakhir yang di
suguhkan adalah upaca arak-arakan Ketupat Gunggungan (seluruh ketupat tersebut
diisi uang antara Rp. 1.000,- sampai Rp. 5.000,-) yang di arak mengelilingi
kampung, pada saat yang sama, warga menyediakan masakan dalam Ancak di
sepanjang jalan desa yang di lewati oleh arak-arakan hingga arak-arakan
berakhir ditempat akhir yang telah ditentukan (untuk tahun ini berada di musola
yang berlokasi di Dukuh Kopen Kidul).
Antara
percaya atau tidak, hal mistik yang terjadi ketika di lakukan arak-arakan
adalah jumlah uang yang berubah menjadi Rp. 10.000 – Rp. 20.000,- ketika
ketupat tersebut sudah ada di genggaman warga. Tidak hanya hal tersebut yang
unik, ketika ketupat yang di dapatkan berisi uang, maka dipercaya rejeki kita
akan lancar dalam 1 tahun kedepan, begitu pula sebaliknya, jika ketupat kosong,
maka rejeki kita akan menurun dalam 1 tahun ke depan.
Tradisi
Gelar Pitu adalah satu dari banyak tradisi yang ada di Kabupaten Banyuwangi
yang di gelar hanya satu tahun satu kali, jadi saying sekali jika tidak
menyaksikan tradisi ini. So keep ur vacation for the next best tradition of
Banyuwangi.
Sumber:
Tempointeraktif.com / Radar Banyuwangi
0 Comments:
Posting Komentar