I.
Fakta tentang Gandrung:
1. Merupakan
Icon Kabupaten Banyuwangi.
2. Kata
""Gandrung"" diartikan sebagai terpesonanya masyarakat
Blambangan yang agraris kepada Dewi Sri
sebagai Dewi Padi yang membawa kesejahteraan bagi masyarakat
3. Tarian
Gandrung Banyuwangi dibawakan sebagai perwujudan rasa syukur masyarakat setiap
habis panen.
4. Gandrung
masih satu genre dengan Ketuk Tilu
di Jawa Barat, Tayub di Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian barat, Lengger
di wilayah Banyumas
dan Joged Bumbung
di Bali, dengan melibatkan
seorang wanita penari profesional yang menari bersama-sama tamu (terutama pria)
dengan iringan musik
(gamelan).
5. Terdiri
dari tiga tahapan; Jejer, Maju, Subuh.
6. Gandrung
merupakan seni pertunjukan yang disajikan dengan iringan musik khas perpaduan
budaya Jawa dan Bali.
7. Tarian
dilakukan dalam bentuk berpasangan antara perempuan (penari gandrung) dan
laki-laki (pemaju) yang dikenal dengan “paju”
8. Menurut
kebiasaan, pertunjukan lengkapnya dimulai sejak sekitar pukul 21.00 dan
berakhir hingga menjelang subuh (sekitar pukul 04.00).
II.
Sejarah
Menurut
catatan sejarah, gandrung pertama kalinya ditarikan oleh para lelaki yang
didandani seperti perempuan dan, menurut laporan Scholte (1927), instrumen
utama yang mengiringi tarian gandrung lanang ini adalah kendang. Pada saat itu,
biola telah digunakan.
Namun demikian, gandrung laki-laki ini lambat laun lenyap dari Banyuwangi
sekitar tahun 1890an, yang diduga karena ajaran Islam melarang segala bentuk
transvestisme atau berdandan seperti perempuan. Namun, tari gandrung laki-laki
baru benar-benar lenyap pada tahun 1914, setelah kematian penari terakhirnya,
yakni Marsan.
Menurut
sejumlah sumber, kelahiran Gandrungditujukan
untuk menghibur para pembabat hutan, mengiringi upacara minta selamat,
berkaitan dengan pembabatan hutan yang angker.
Gandrung
wanita pertama yang dikenal dalam sejarah adalah gandrung Semi, seorang
anak kecil yang waktu itu masih berusia sepuluh tahun pada tahun 1895. Menurut
cerita yang dipercaya, waktu itu Semi menderita penyakit yang cukup parah.
Segala cara sudah dilakukan hingga ke dukun, namun Semi tak juga kunjung
sembuh. Sehingga ibu Semi (Mak Midhah) bernazar seperti “Kadhung sira
waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung sing yo sing” (Bila kamu sembuh, saya
jadikan kamu Seblang, kalau tidak ya tidak jadi). Ternyata, akhirnya Semi
sembuh dan dijadikan seblang
sekaligus memulai babak baru dengan ditarikannya gandrung oleh wanita.
Tradisi
gandrung yang dilakukan Semi ini kemudian diikuti oleh adik-adik perempuannya
dengan menggunakan nama depan Gandrung sebagai nama panggungnya. Kesenian ini
kemudian terus berkembang di seantero Banyuwangi dan menjadi ikon khas
setempat. Pada mulanya gandrung hanya boleh ditarikan oleh para keturunan
penari gandrung sebelumnya, namun sejak tahun 1970-an mulai banyak gadis-gadis
muda yang bukan keturunan gandrung yang mempelajari tarian ini dan
menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian di samping mempertahankan
eksistensinya yang makin terdesak sejak akhir abad ke-20.
III.
Tata Busana Penari
Tata
busana penari Gandrung Banyuwangi khas, dan berbeda dengan tarian bagian Jawa
lain. Ada pengaruh Bali (Kerajaaan
Blambangan) yang tampak.
1. Bagian
Tubuh
Busana
untuk tubuh terdiri dari baju yang terbuat dari beludru berwarna hitam, dihias
dengan ornamen kuning emas, serta manik-manik yang mengkilat dan berbentuk
leher botol yang melilit leher hingga dada, sedang bagian pundak dan separuh
punggung dibiarkan terbuka. Di bagian leher tersebut dipasang ilat-ilatan yang
menutup tengah dada dan sebagai penghias bagian atas. Pada bagian lengan dihias
masing-masing dengan satu buah kelat bahu dan bagian pinggang dihias dengan
ikat pinggang dan sembong serta diberi hiasan kain berwarna-warni sebagai
pemanisnya. Selendang selalu dikenakan di bahu.
2. Bagian
Kepala
Kepala
dipasangi hiasan serupa mahkota yang disebut omprok yang terbuat dari
kulit kerbau yang disamak dan diberi ornamen berwarna emas dan merah serta
diberi ornamen tokoh Antasena,
putra Bima yang berkepala
manusia raksasa namun berbadan ular serta menutupi seluruh rambut penari
gandrung. Pada masa lampau ornamen Antasena ini tidak melekat pada
mahkota melainkan setengah terlepas seperti sayap burung. Sejak setelah tahun
1960-an, ornamen ekor Antasena ini kemudian dilekatkan pada omprok hingga
menjadi yang sekarang ini.
Selanjutnya
pada mahkota tersebut diberi ornamen berwarna perak yang berfungsi membuat
wajah sang penari seolah bulat telur, serta ada tambahan ornamen bunga yang
disebut cundhuk mentul di atasnya. Sering kali, bagian omprok ini
dipasang hio yang pada gilirannya
memberi kesan magis.
3. Bagian
Bawah
Penari
gandrung menggunakan kain batik dengan corak bermacam-macam. Namun corak batik
yang paling banyak dipakai serta menjadi ciri khusus adalah batik dengan corak gajah
oling, corak tumbuh-tumbuhan dengan belalai gajah pada dasar kain putih
yang menjadi ciri khas Banyuwangi. Sebelum tahun 1930-an, penari gandrung tidak
memakai kaus kaki, namun semenjak dekade tersebut penari gandrung selalu
memakai kaus kaki putih dalam setiap pertunjukannya.
4. Lain-lain
Pada
masa lampau, penari gandrung biasanya membawa dua buah kipas untuk pertunjukannya.
Namun kini penari gandrung hanya membawa satu buah kipas dan hanya untuk
bagian-bagian tertentu dalam pertunjukannya, khususnya dalam bagian seblang
subuh.
IV.
Musik Pengiring
Musik
pengiring untuk gandrung Banyuwangi terdiri dari satu buah kempul
atau gong, satu buah kluncing
(triangle), satu atau dua buah biola, dua buah kendhang, dan sepasang kethuk.
Di samping itu, pertunjukan tidak lengkap jika tidak diiringi panjak
atau kadang-kadang disebut pengudang (pemberi semangat) yang bertugas
memberi semangat dan memberi efek kocak dalam setiap pertunjukan gandrung.
Peran panjak dapat diambil oleh pemain kluncing.
Selain
itu kadang-kadang diselingi dengan saron
Bali, angklung, atau rebana sebagai bentuk
kreasi dan diiringi electone.
V.
Tahapan-Tahapan Pertunjukan
Pertunjukan
Gandrung yang asli terbagi atas tiga bagian:
·
Jejer
Bagian
ini merupakan pembuka seluruh pertunjukan gandrung. Pada bagian ini, penari
menyanyikan beberapa lagu dan menari secara solo, tanpa tamu. Para tamu yang
umumnya laki-laki hanya menyaksikan.
·
Maju
Setelah
jejer selesai, maka sang penari mulai memberikan selendang-selendang untuk
diberikan kepada tamu. Tamu-tamu pentinglah yang terlebih dahulu mendapat
kesempatan menari bersama-sama. Biasanya para tamu terdiri dari empat orang,
membentuk bujur sangkar dengan penari berada di tengah-tengah. Sang gandrung
akan mendatangi para tamu yang menari dengannya satu persatu dengan gerakan-gerakan
yang menggoda, dan itulah esensi dari tari gandrung, yakni tergila-gila atau
hawa nafsu.
Setelah
selesai, si penari akan mendatang rombongan penonton, dan meminta salah satu
penonton untuk memilihkan lagu yang akan dibawakan. Acara ini diselang-seling
antara maju dan repèn (nyanyian yang tidak ditarikan), dan berlangsung
sepanjang malam hingga menjelang subuh. Kadang-kadang pertunjukan ini
menghadapi kekacauan, yang disebabkan oleh para penonton yang menunggu giliran
atau mabuk, sehingga perkelahian tak terelakkan lagi.
·
Seblang subuh
Bagian
ini merupakan penutup dari seluruh rangkaian pertunjukan gandrung Banyuwangi.
Setelah selesai melakukan maju dan beristirahat sejenak, dimulailah bagian
seblang subuh. Dimulai dengan gerakan penari yang perlahan dan penuh
penghayatan, kadang sambil membawa kipas yang dikibas-kibaskan menurut irama
atau tanpa membawa kipas sama sekali sambil menyanyikan lagu-lagu bertema sedih
seperti misalnya seblang lokento. Suasana mistis terasa pada saat bagian
seblang subuh ini, karena masih terhubung erat dengan ritual seblang,
suatu ritual penyembuhan atau penyucian dan masih dilakukan (meski sulit
dijumpai) oleh penari-penari wanita usia lanjut. Pada masa sekarang ini, bagian
seblang subuh kerap dihilangkan meskipun sebenarnya bagian ini menjadi penutup
satu pertunjukan pentas gandrung.
VI.
Perkembangan terakhir
Kesenian
gandrung Banyuwangi masih tegar dalam menghadapi gempuran arus globalisasi, yang
dipopulerkan melalui media elektronik dan media cetak. Pemerintah Kabupaten
Banyuwangi pun bahkan mulai mewajibkan setiap siswanya dari SD hingga SMA untuk
mengikuti ekstrakurikuler kesenian Banyuwangi. Salah satu di antaranya
diwajibkan mempelajari tari Jejer yang merupakan sempalan dari pertunjukan
gandrung Banyuwangi. Itu merupakan salah satu wujud perhatian pemerintah
setempat terhadap seni budaya lokal yang sebenarnya sudah mulai terdesak oleh
pentas-pentas populer lain seperti dangdut dan campursari.
Sejak
tahun 2000, antusiasme seniman-budayawan Dewan
Kesenian Blambangan meningkat. Gandrung, dalam pandangan kelompok
ini adalah kesenian yang mengandung nilai-nilai historis komunitas Using
yang terus-menerus tertekan secara struktural maupun kultural. Dengan kata
lain, Gandrung adalah bentuk perlawanan kebudayaan daerah masyarakat Using.
Di
sisi lain, penari gandrung tidak pernah lepas dari prasangka atau citra negatif
di tengah masyarakat luas. Beberapa kelompok sosial tertentu, terutama kaum
santri menilai bahwa penari Gandrung adalah perempuan yang berprofesi amat
negatif dan mendapatkan perlakuan yang tidak pantas, tersudut, terpinggirkan dan
bahkan terdiskriminasi dalam kehidupan sehari-hari.
Sejak
Desember 200, Tari Gandrung resmi menjadi maskot pariwisata Banyuwangi yang disusul
pematungan gandrung terpajang di berbagai sudut kota dan desa. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi juga
memprakarsai promosi gandrung untuk dipentaskan di beberapa tempat seperti
Surabaya , Jakarta , Hongkong, dan beberapa kota di Amerika Serikat.
0 Comments:
Posting Komentar